TANTANGAN MASA KINI

(diambil dari buku “Panggilan Religius Awam, Bruder dan Suster, Pemaknaan Terus-menerus”, PT. Kanisius, 2015, Theo Riyanto FIC)
Kehidupan religius awam masa kini menghadapi banyak tantangan. Tidak hanya tantangan dari luar, namun juga tantangan dari dalam diri sendiri, entah secara perseorangan maupun institusional. Perkembangan zaman dan situasi dunia menuntut mereka memiliki kecerdasan untuk tetap memandang dunia dari sudut pandang Allah dan dalam kerangka karya keselamatan Tuhan. Posisi unik mereka dalam dinamika dialog antara Gereja dan dunia, antara iman dan budaya, memiliki peranan penting dalam menghadapi dan menyelesaikan tantangan yang ada. Mereka siap untuk berkarya di mana Gereja telah hadir, namun juga di tengah-tengah masyarakat di mana Gereja belum hadir.
Para bruder dan suster membawakan perutusan mereka di sekolah umum maupun di sekolah untuk mereka yang berkebutuhan khusus, di universitas, di rumah sakit, di panti asuhan, di panti wreda, di penjara, di jalanan, dan lain sebagainya. Mereka berusaha untuk membawa: a) kedamaian di antara manusia dan perkembangan hidup yang lebih sejahtera, sehingga setiap orang menemukan tempatnya di dunia secara nyaman dan tidak satu pun yang tersingkirkan; b) keadilan dan persaudaraan sejati, yang mengubah cara berpikir mengenai arti persaudaraan yang tidak hanya sedarah atau sekelompok tertentu, tetapi persaudaraan yang luas untuk siapa pun, kepekaan akan ketidakadilan yang ada di semua tingkat kehidupan di masyarakat.
Mereka mewujudnyatakan keberpihakan mereka kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir dalam berbagai cara dan jalan, misalnya: a) memberikan perhatian kepada anak-anak muda dalam segala bidang, sehingga mereka dapat bertumbuh kembang dengan optimal dan tidak dieksploitasi oleh orang lain atau kelompok tertentu; b) terbuka dan memberikan bantuan pada negara-negara dunia ketiga; c) memberikan perhatian dan pertolongan pada daerah-daerah yang belum menikmati perkembangan dan kemajuan; d) prihatin dan terlibat pada mereka yang tersingkirkan, orang-orang tua dan jompo, mereka yang sakit dan menderita, para pengangguran, dengan memenuhi kebutuhan mereka, menghibur dan menemani mereka dalam kesendirian, dan menyelamatkan mereka dari penderitaan moral; e) perhatian konkret kepada mereka yang memiliki ketagihan terhadap narkoba, mereka yang tertindas, para pengungsi, dan yang disingkirkan oleh masyarakat; f) perhatian terhadap masalah-masalah keluarga; g) membantu orang tua dalam mendidik anak-anak, lebih- lebih dalam memberikan nilai-nilai keutamaan yang diperlukan dalam hidup; h) mencari sistem pendidikan yang baik dan tepat sesuai situasi kondisi setempat, sehingga mampu memberikan kontribusi dalam ikut mencerdaskan anak bangsa dan membantu pembentukan karakter kepribadian mereka; dan i) mengorganisasikan kampanye pemberantasan buta huruf dan pendidikan khusus bagi mereka yang berkebutuhan khusus.
Cara dan gaya hidup yang khusus dari para bruder dan suster menjadikan mereka mampu untuk menghadapi tantangan dunia masa kini dalam semangat Injil. Mereka hendaknya memandang tantangan terhadap hidup dan karya mereka dalam terang Injil dan sesuai dengan embusan inspirasi Roh Kudus. Dalam arti tertentu, dibutuhkan gerakan untuk kembali berpusat pada pesan Injil, yang akan memberikan kekuatan kembali pada kehidupan mereka. Mereka hendaknya tidak terjebak pada ketenteraman dan kenyamanan kehidupan persekutuan, mereka harus berani keluar untuk memberikan kesaksian dan menarik perhatian orang lain. Jikalau pada tingkat tertentu mereka menghadapi tantangan hidup dan karya di dunia dengan bersembunyi di balik kenyamanan hidup berkomunitas, justru mereka akan kehilangan daya dan kekuatan untuk bersaksi dan menyelamatkan dunia.
Mereka perlu merevitalisasi identitas mereka, sehingga mereka mampu memiliki antusiasme baru dalam menghayati hidup dan karya perutusan mereka dan dalam melayani orang lain. Bahagia dengan suatu perutusan tertentu tidak selalu sama dengan menjadi tertarik untuk melaksanakan suatu perutusan tertentu. Bahagia atau puas dengan perutusan tertentu datang dari profesionalisme kompetensi yang dimiliki, sedangkan ketertarikan pada perutusan tertentu datang dari karisma pribadi dan kongregasi. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana menemukan kembali identitas sebagai religius awam di tengah-tengah dunia modern. Sikap dan tanggapan para pendiri terhadap kebutuhan masyarakat pada zaman mereka, hendaknya mendorong dan menginspirasi bagaimana para bruder dan suster hendaknya menyelesaikan kesulitan-kesulitan dan tan- tangan-tantangan yang mereka hadapi pada masa kini.
Dalam pendidikan dan pembinaan calon serta pembinaan lanjutan, diperlukan pengembangan kemam- puan-kemampuan dan pembentukan pribadi religius yang mampu menghadapi tantangan dan kesulitan nyata di dunia sekarang ini. Mereka hendaknya sungguh- sungguh bersentuhan dengan kondisi kemanusiaan masa kini, sungguh menyadari panggilan Tuhan, menghayati secara tepat karisma pendiri, dan kesiapsediaan untuk mengevaluasi kembali karya perutusan untuk meningkatkan pelayanan mereka. Mungkin hal ini akan menuntut perubahan dalam bentuk dan cara hidup berkomunitas yang tetap membuat mereka “nyaman” dalam hidup persekutuan dalam persaudaran penuh kasih, sekaligus juga mampu memberikan kesaksian pada dunia luar melalui hidup dan karya perutusan mereka. Dengan demikian, diharapkan mereka mampu mengatakan seperti yang dikatakan oleh Santo Paulus, “Jadi, saudara- saudara, jika aku datang kepadamu dan berkata-kata dengan bahasa roh, apakah gunanya itu bagimu, jika aku tidak menyampaikan kepadamu pernyataan Allah atau pengetahuan atau nubuat atau pengajaran?” Dikuatkan oleh pengalaman mereka akan Allah, dituntun oleh intuisi kenabian para pendiri mereka, para bruder dan suster mampu untuk menghadapi tantangan dan kesulitan pada dunia sekarang ini.
Tiga unsur penting dalam kehidupan religius dari zaman ke zaman yang tak lekang oleh waktu adalah pengudusan, persekutuan, dan karya perutusan. Mereka menghayati tiga unsur ini dalam panggilan hidup mereka, sama dengan awam yang lain. Panggilan khusus mereka tidak memisahkan atau mencerabut mereka dari tengah- tengah masyarakat, tetapi menjadi tanda dan kesaksian untuk menguduskan dan dalam rangka melaksanakan karya perutusan secara khusus. Tantangannya adalah para bruder dan suster menjadi sangat terjebak pada karya yang sangat profesional dari ukuran manusia, dan melupakan unsur pengudusan dan kesaksian akan kedatangan Kerajaan Allah. Kesuksesan mereka diukur dari nilai-nilai dan manajemen dunia, bukan dari seberapa besar kasih yang menjiwai karya mereka, bukan dari seberapa besar kesaksian akan datangnya Kerajaan Allah dalam hidup dan karya mereka.
Para bruder dan suster hendaknya juga mengadakan reorientasi berdasarkan pada karisma khusus dalam karya perutusan mereka. Yang perlu diperhatikan adalah tiga kekuatan mendasar dari setiap pribadi yaitu: kepemilikan (harta), cinta, dan keberadaan diri (proses menjadi). a) Kekuatan untuk memiliki harta atau kepemilikan, para bruder dan suster mengucapkan kaul kemiskinan, yang menuntut mereka untuk berkarya, berbagi, dan menikmatinya dalam persekutuan. Mereka menghayati realitas kehidupan sebagai manusia dan menekankan tentang pentingnya bersolidaritas. b) Kekuatan untuk mencintai, mereka mengucapkan kaul wadat, yang memberikan ruang yang lebih luas untuk membangun persaudaraan sejati. Kaul ini diwujudnyatakan juga dengan kesediaan untuk berkarya kepada mereka yang sangat membutuhkan, berdasarkan pada karisma, di dalam persaudaraan dan pertemanan sejati. Mereka berbagi pelayanan dalam bidang pendidikan dan pelayanan penuh persaudaraan. c) Kekuatan keberadaan diri, proses menjadi berarti proses pertumbuhan dan perkembangan pribadi seseorang dengan cara yang unik. Perkembangan pribadi dalam hal ini dituntun oleh kaul ketaatan, hanya demi optimalnya melaksanakan kehendak Allah. Pertumbuhan dan perkembangan kepribadian mereka menuju pada kekudusan, menjadi hal yang mendasar dalam menjalani hidup mereka sebagai religius awam.
Mereka menyebut diri “Bruder dan Suster”, yang sangat berkaitan dengan persaudaraan dan persekutuan dalam komunitas. Kaul kemiskinan dan ketaatan dan khususnya wadat adalah sarana yang ampuh dan khas untuk mencapai persaudaraan sejati sesuai dengan cita-cita Injil. Yang paling mendasar dalam hidup persekutuan di dalam komunitas adalah mendengarkan “Sabda Tuhan” bersama- sama dan dalam kesatuan. Sabda Tuhan menjadi pedoman utama dalam hidup dan karya mereka, dan menjadi alasan utama mengapa mewartakan karya keselamatan. Mereka hendaknya menjadi “manusia bagi Tuhan” dan “manusia bagi sesama”.
Kehidupan religius awam lebih penting untuk menghidupi aspek kenabian mereka dan memberikan kesaksian tentang dunia yang akan datang, tentang Kerajaan Allah. Oleh karena itu, di dunia yang semakin modern ini, mereka lebih ditantang untuk: a) memiliki pengalaman yang mendalam akan Allah secara pribadi dan kepekaan yang besar akan hidup persekutuan di dalam komunitas; b) mampu menjadi pribadi yang integral dan seimbang dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki, sehingga mampu menunjukkan diri secara jelas mengenai pembaktian diri mereka secara total kepada Tuhan dan kepada sesama; c) disiapkan sungguh- sungguh, seperti para nabi, untuk mampu melakukan pembedaan Roh, membaca tanda-tanda zaman, sehingga tanggapan mereka terhadap kebutuhan sekitar menjadi tepat sesuai dengan kehendak Tuhan dan karisma khusus mereka; d) terlibat di dalam kehidupan masyarakat dan demi pewartaan Sabda, peka akan masalah-masalah di dalam masyarakat, kebutuhan-kebutuhan mendesak dan terjadinya perpecahan-perpecahan di dalam masyarakat; e) hadir di dalam dunia sebagai tanda karena penghayatan mereka akan nilai-nilai Injil tentang persaudaraan dalam hidup dan karya kerasulan mereka, dalam relasi-relasi manusiawi mereka. Mereka hendaknya selalu berusaha untuk memperbaharui diri dengan mengikuti inspirasi gerak Roh Kudus. Namun pembaharuan tersebut, tetap didasarkan pada sejarah awal kongregasi dan semangat para pendiri mereka, dengan menyesuaikan pada cara dan corak hidup serta karya di dunia modern. Selalu berkembang dan bertumbuh sesuai dengan tanda-tanda zaman tanpa kehilangan jati diri melalui sejarah awal kongregasi dan karisma pendiri.
(salam Bro. Theo, FIC)